PANCASILA SEBAGAI SUMBER DARI SEGALA SUMBER HUKUM, FILSAFAT HUKUM DAN FALSAFAH NEGARA. REPUBLIK INDONESIA




  PANCASILA SEBAGAI SUMBER DARI SEGALA SUMBER HUKUM, FILSAFAT HUKUM DAN FALSAFAH NEGARA. .REPUBLIK INDONESIA
Abstrak
Hukum di Indonesia tidak dipisahkan dari masyarakat dan wilayah Indonesia serta perjalanan sejarahnya. Materi hukum di Indonesia harus digali dan dibuat dari nilai-nilai yang hidup di Masyarakat. Tulisan ini bertujuan mengeksplorasi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum nasional dan sekaligus membuktikan bahwa selain filsafat Negara, Pancasila juga sebagai filsafat hukum Indonesia. Berdasarkan Stuven Theori dari Hens Kelsen yang diteruskan Hens Nawiasky, Pembukaan UUD 1945 merupakan filsafat Hukum Indonesia, sedangkan Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum dan Filsafat Negara. Filsafat hukum dan filsafat Negara serta Ideologi Negara Pancasila itu adalah Pedoman dasar bertindak atau berperilaku sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia yang berbeda dengan Volkgeist bangsa-bangsa lain.
1.      Latar Belakang Masalah Hukum
Pcngcrtian hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Marcus Tullus Cicero (106-43 SM), ahli hukum terbesar Romawi mengatakan bahwa diniana ada masyarakat disitu ada hukum (ubi societas, ibi ius). Selanjutnya, pengertian hukum tidak dapat dipisahkan dari negara dalam arti luas (masyarakat bernegara). Apabila berbicara tentang negara, maka kita berbicara tentang organisasi kekuasaan, sehingga hukum erat sekali hubungannya dengan kekuasaan. Seperti yang dinyatakan oleh Hans Kelsen, The State is a National Legal Order. Mochtar Kusumaadmadja menyatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah anga-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelalinian. Hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Disini kita melihat betapa erat hubungan antara hukum, negara dan kekuasaan itu.
Walaupun terdapat hubungan yang erat, tidak berarti negara berdasarkan kekuasaan. Seperti dinyatakan dalam pejelasan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945), negara kita adalah negara berdasar atas hukum (rechstaat), bukan negara berdasar atas kekuasaan yang kemudian diadakan perubahan UUD 1945 yaitu pasal 1 NKRI adalah Negara Hukum. Masalah hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat pada suatu wilayah dan waktu tertentu. Ini berarti hukum di Indonesia pun tidak dapat dipisahakan dari masyarakat dan wilayah Indonesia serta perjalanan sejarahnya. Berhubung dengan itu, materi hukum di Indonesia harus digali dan dibuat dari nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu dapat berupa kesadaran dan cita hukum (rechtsidee), cita moral, kemerdekaan individu dan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian, cita politik, sifat, bentuk dan tujuan negara, kehidupan kemasyarakatan, keagamaandan sebagainnya. Dengan perkataan lain, sedapat mungkin hukum Indonesia harus bersumber dari bumi Indonesia sendiri, yaitu jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Dalam pandangan CF von Savigny, penganut mazhab sejarah, berarti hukum Indonesia harus mencerminkan Volksgeist Indonesia, sekalipun demikian Volksgeist itu tidak serta merta mewujud menjadi hukum. Apabila kita dapat mengetahui Volksgeist ini, berarti kita dapat memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Jika dapat mengetahui nilai-nilai itu, dapat pula ketahui seperti apa dikatahui seperti apa diketahui seperti apa hukum yang hidup (living law). Untuk itu perlu dilakukan penelitian terus menerus karena mungkin ada nilai-nilai yang telah bergeser sehingga dapat menjadi masukan dalam penyusunan hukum positif. Dalam Sociological Jurisprudence, hukum (positif) yang baik adalah apabila bersumber pada hukum yang hidup masyarakat.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka timbul permasalahan sebagai berikut :
1. Benarkah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum nasional ?
2. Tunjukkan bukti-buktinya bahwa disamping sebagai filsafat negara, Pancasila juga sebagai filsafat hukum Indonesia ?
3.      Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
Pengertian Sumber Hukum
Sumber hukum dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah bentuk hukum yang menyebabkan hukum itu berlaku sebagai hukum positif dan diberi sanksi oleh penguasa negara, misalanya undang-undang, traktat, yurisprodensi, pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi suatu norma hukum.
Ada pula yang membedakan sumber hukum sebagai kenborn, yaitu sumber hukum untuk mengetahui atau mengenal (kennen) sesuatu dan sumber hukum sebagai welborn, yaitu sumber hukum yang sebenarnya. Mengenai sumber hukum juga terdapat bermacam-macam anggapan. Ahli sejarah berbeda pandangannya tentang sumber hukum dengan ahli sosiologi dan antropologi. Demikian pula ahli ekonomi akan berbeda pendapatnya dengan ahli agama atau filsuf.
Menurut pandangan ahli sejarah, sumber hukum adala undang-undang atau dokumen lain yang bernilai undang-undang. Bagi ahli sosiologi dan antropologi, sumber hukmum justru adalah masyarakat seluruhnya. Sumber hukum menurut ahli ekonomi adalah apa yang tampak di lapangan penghidupan ekonomi dan ini berbeda dengan ahli agama yang menganggap sumber hukum tidak lain adalah kitab-kitab suci. Pandangan tersebut ukuran yang digunakan untuk menentukan bahwa suatu hukum itu adil, mengapa orang mentaati hukum dan sebagainya. Apabila kita memperhatikan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, maka ada alasan pula untuk mengatakan bahwa sumber hukum adalah masyarakat. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah hubungan antar individu dalam suatu kehidupan bersama (bermasyarakat). Sumber hukum sebenarnya adalah kesadaran masyarakat tentang apa yang dirasakan adil dalam mengatur hidup kemasyarakatan yang tertib dan damai. Jadi sumber hukum tersebut harus mengalirkan aturan-aturan (norma-norma) hidup yang adil dan sesuai dengan perasaan dan kesadaran hukum (nilai-nilai) masyarakat, yang dapat menciptakan suasana damai dan teratur karena selalu memperhatikan kepentingan masyarakat. Aliran Positivisme Hukum, khususnya Legisme, menganggap bahwa undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum, karena hukum disamakan dengan undang-undang. Jadi hanya ada sumber hukum formil saja. Apa yang dirasakan adil dan sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, tidak atau belum semuanya diserap dalam undang-undang yang telah ada, sering dijumpai undang-undang yang mencerminkan rasa kaedilan masyarakat.
Berhubung dengan itu, disamping hukum yang berwujud undang-undang (formil) masih diperlukan sumber hukum yaitu sumber hukum materiil. Bahkan dibutuhkan sumebr dari segala sumber hukum sebagai alat penilai, ukuran, atau batu ujian terhadap hukum yang berlaku itu benar-benar sesuai dengan rasa keadilan serta dapat menciptakan suasana damai dan ketertiban dalam masyarakat.
1. Sumber Hukum Formil
Sumber hukum formil adalah faktor yang menjadikan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum. Sumber hukum formil itu adalah proses yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum. Dengan kata lain sumber hukum formal adalah proses yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum positif (Positiveringsporces). Proses ini ada dua, yakni perundang-undangan (legislation) dan kebiasaan.
Perundang-undangan adalah proses yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum yang dilakukan melalui prosedur yang ditentukan. Termasuk perundang-undangan ini, dalam hukum nasional Indoensia misalnya pembentukan Undang-undang, penetapan Peraturan Pemerintah dan penetapan Peraturan Daerah.
Kebiasaan adalah proses yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum yang tidak memenuhi persyaratan yang berlaku bagi perundang-undangan, yakni ditetapkan bukan oleh penguasa masyarakat yang berwenang atau ditetapkan oleh penguasa masyarakat yang berwenang tetapi tidak dilakukan melalui prosedur yang ditentukan. Proses ini tidak dilakukan melalui prosedur yang ditentukan. Proses ini biasanya harus disertai dengan pengulangan dan penerimaan umum ketentuan tersebut sebagai suatu keharusan. Dibandingkan dengan perundang-undangan, kebiasaan lebih sukar diketahui awal dan akhir prosesnya.
Dalam kepustakaan sering dicampur-adukan pengertian sumber hukum sebagai proses, yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum dengan pengertian ketentuan hukum yang merupakan produk dari proses tersebut. Pencampur-adukan ini terjadi dalam kepustakan hukum nasional Indonesia dan kepustakaan hukum Internasional.
2. Sumber Hukum Materiil
Sumber hukum materiil ialah faktor yang menentukan isi ketentuan hukum yang berlaku. Sumber hukum materiil itu ialah prinsip-prinsip yang menentukan isi ketentuan hukum yang berlaku. Diantara prinsip-prinsip yang diterima umum dalam masyarakat itu terdapat prinsip-prinsip hukum. Prinsip hukum ini tidak berbeda menurut hakikatnya dengan ketentuan hukum. Prinsip hukum dan ketentuan hukum sama-sama merupakan ketentuan yang mengatur tingkah laku orang dalam masyarakat secara umum, sedangkan ketentuan hukum mengatur tingkah laku orang dalam masyarakat secara rinci. Prinsip hukum itu di Indonesia misalnya ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam perwakilan permusyawaratan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Sumber dari Segala Sumber Hukum (Sumber Tertib Hukum)
Sumber tertib hukum, yang biasanya disebut sumber dari segala sumber hukum (maha sumber hukum) adalah sumber hukum yang terakhir dan tertinggi. Sumber tertib hukum inipun berbeda-beda, bergantung kepada masyarakat, bangsa, dan negara masing-masing.
Bagi negara yang mengikuti paham negara teokrasi, yang menjadi sumber dari segala sumber hukum adalah ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa dengan itu. Untuk negara yang mengikuti paham negara kekuasaan (menurut teori Hobbes), yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan atas kekuatan. Jadi, kekuasaan negara yang diutamakan.
Sumber dari segala sumber hukum Negara yang mengikuti paham kedaulatan rakyat adalah kedaulatan rakyat (teori Kontrak Sosial dari Rousseau). Teori kedaulatan rakyat dari Rousseau tidak sama dengan teori kedaulatan rakyat Negara Pancasila, karena kedaulatan rakyat kita dijiwai dan diliputi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila-sila lain dari Pancasila. Demikian pula, teori kedaulatan rakyat kita berbeda dengan teori Hobbes (yang mengarah ke absolutisme) dan Jhon Locke (yang berpengaruh ke arah demokrasi parlementer).
Menurut Hans Kelsen, dalam dua bukunya Allgemetre Straatslehre dan Reine Rechtslehre, setiap norma hukum berlaku atas dasar kekuatan norma yang lebih tinggi kedudukannya, demikian seterusnya. Walaupun demikian, dasar validitas itu pada suatu saat harus berhenti, yakni pada satu norma yang paling tinggi, yang disebut Grundnom atau Ursprungnorm.
Sebagai suatu norma, tentu perwujudan Grundnorm ini tidak dapat dilihat atau diraba seperti halnya benda. Norma tersebut belum sesuatu yang nyata (Sein), tetapi masih sesuatu yang ideal (sollen). Berlakunya norma itu dapat dirasakan sebagai kenyataan. Kelsen juga menyatakan bahwa berlakunya hukum (Geltung des Rechts) sama halnya dengan kekuasaan negara. Meskipun hal tersebut tidak konkert, namun tertib hukum yang tertinggi adalah kedaulatan rakyat.
Bagaimana halnya dengan negara kita mengenai tertib hukum yang tertinggi ini? Tertib hukum yang tertinggi dan sekaligus sumber dari segala sumber hukum itu, berasal dari rakyat. Kedaulatan rakyat itu menurut sejarah pembentukan negara kita, semula diwakili kepada suatu badan istimewa yang disebut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Badan ini memiliki keistimewaan yaitu:
(1) Karena badan ini mewakili seluruh bangsa Indonesia dan sekaligus sebagai pembentuk negara Republik Indonesia;
(2) Karena menurut sejarah perjuangan kemerdekaan, badan ini adalah badan yang melahirkan atau membentuk negara Republik Indonesia.
(3) Karena badan seperti itu menurut teori hukum mempunyai wewenang menetapkan dasar negara yang paling fundamental, yang disebut dasar falsafah negara atau norma dasar hukum negara. Jadi dasar negara kita, Pancasila telah disahkan oleh suatu badan yang memang berwenang untuk itu. Dasar negara Pancasila itu dinyatakan secara tegas dalam pokok-pokok pikiran dari Pembukaan UUD 1945. dengan demikian, jelas pula bahwa Pancasila itu yang menjadi sumber dari segala sumber hukum negara kita. Apabila kita menggunakan teori Kelsen untuk menjelaskan pengertian Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum0, bukan berarti pandangan Kelsen adalah penganut Positivisme Hukum dan dapat pula dimasukkan ke dalam Neokantianisme. Dalam pandangan Positivisme Hukum, terutama Legisme, hukum identik dengan undang-undang sehingga tiada hukum diluar undang-undang.
Disamping hukum yang tertulis dalam undang-undang masih terdapat hukum lain yang tidak tertulis, seperti hukum adat. Harus diakui bahwa hukum adat dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk hukum tidak tertulis yang mencerminkan kepribadian bangsa, mengandung nilai-nilai bangsa, dan lebih dalam lagi meminjam istilah von Savigny memuat volksgetst Indonesia. Dengan demikian, apabila kita ingin menemukan hukum yang dirasakan adil oleh bangsa Indonesia, hendaklah memperhatikan juga hukum tidak tertulis itu, terutama asas-asasnya yang sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.
Kata ”memperhatikan” mengandung unsur pertimbangan yang hati-hati, karena dapat saja terjadi nilai-nilai dalam hukum adat itu ternyata tidak sesuai apabila diangkat ke tingkat nasional, yang berarti berlaku untuk semua golongan penduduk Indonesia. Apalagi, sebagaimana disampaikan oleh Sunaryati Hartono Sunario, karena pluralisme hukum tidak lagi ingin dipertahankan, maka unsur-unsur hukum adat dan hukum agama ditransformasikan atau menjadi bagian dari bidang-bidang hukum sistem hukum nasional, yang di akhir abad ke-20 ini diperkirakan tidak lagi hanya akan terbagi-bagi dalam hukum tata negara, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara dan hukum administrasi negara, tetapi yang akan mengenal jauh lebih banyak bidang hukum lagi seperti hukum lingkungan, hukum ekonomi, hukum kesehatan dan hukum komputer.
Dalam ketetPn MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, dinyatakan, “Sumber tertib hukum suatu negara atau yang biasa dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia, ialah cara mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamian nasional dan mondial, cita-cita politik mengenai sifat bentuk dan tujuan negara, cita-cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan.
Dalam kutipan diatas juga tertulis “cita-cita hukum” sebagai suatu terjemahan yang kurang tepat dari kata “rechtsidee”, lebih tepat ditulis “cita hukum” saja. Ketetapan ini menurut Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978 masih berlaku sampai sekarang, walaupun diakui perlu dilakukan penyempurnaan.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 telah dimurnikan dan di padatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia yaitu Pancasila. Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dijelaskan bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan memuat Pancasila sebagai dasar negara, merupakan satu rangkaian dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan oleh karena itu tidak dapat diubah oleh siapapun juga, termasuk MPR hasil pemilihan umum yang berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 1945 berwenang menetapkan dan mengubah undang-undang dasar, karena mengubah isi Pembukaan berarti pembubaran negara.
c. Perwujudan Sumber dari Segala Sumber Hukum bagi Republik Indonesia
Perwujudan sumber dari segala sumber hukum bagi Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
1) Proklamasi kemerdekaaan 17 Agustus 1945
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan titik kulminasi dari sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia setelah selama berabad-abad dengan didorong oleh Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) yang berjiwakan Pancasila. Untuk mewujudkan tujuan Proklamasi tersebut, maka pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan Undang-undang Dasar Kesatuan Republik Indonesia, yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya. Kemudian atas dasar aturan Peralihan UUD 1945 itu, PPKI telah pula memilih Soekarno sebagai Presiden pertama Republik Indonesia dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
Dengan demikian Negara dan Hukum Nasional kita lahir pada saat ”Declaratoin of Independence” yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945.
2) Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 menetapkan tiga hal:
(1) pembubaran Konstituante;
(2) berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara 1950; dan
(3) pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Dekrit tersebut dikeluarkan atas dasar hukum darurat negara (staatsnoodrecht), mengingatkan keadaan ketatanegaraan yang membudayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.
3) Undang-Undang Dasar, Proklamasi, termasuk Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya
Pernah terjadi suatu polemik mengenai dua naskah UUD 1945 yang berbeda, yakni antara naskah yang dimuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 tanggal 15 Pebruari 1946 dan naskah yang dilampirkan pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 (Lembaran Negara RI No. 75 tahun 1959). Perlu ditegasakan disini bahwa apabila disebutkan „Undang-undang Dasar 1945”, maka yang dimaksudkan seharusnya adalah UUD 1945 sebagaimana naskahnya dimuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 tanggal 15 Pebruari 1946. dasar pertimbangannya adalah sebagai berikut:
a) Setelah sekian tahun ditinggalkan, UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959. Isi dekrit tersebut diumumkan dalam Lembaran Negara RI No. 75 tahun 1959, tanggal 5 Juli 1959. Lembaran Negara tersebut memuat pula lampiran naskah UUD 1945 yang isinya ternyata terdapat banyak kesalahan cetak, sehingga sangat mengganggu pengertian. Lebih jauh lagi naskah UUD 1945 dalam lampiran itu tidak sesuai dengan naskah yang memuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 tanggal 15 Pebruari 1946.
b) Dalam acara Pemandangan Umum Babak II Sidang konstituante RI tanggal 21 Mei 1959, Pemerintah RI telah memberikan keterangan yang mendukung alasan pertama diatas. Pada kesempatan itu, Perdana Menteri Djuanda memberikan keterangan (sebagai jawaban pemerintah dalam rangka kembali ke UUD 1945), yang kutipan lengkapnya adalah sebagai berikut: “Saudara Ketua, Pemerintah perlu menegaskan pertama-tama,bahwa menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, pemerintah berpegang pada naskah yang dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II no 7, tanggal 15 Pebruari 1946, yang harus dipandang sebagai pemberitaan resmi oleh pemerintah”.
c) Dalam Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tidak disebutkan adanya lampiran naskah UUD 1945 yang telah diadakan perubahan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa perbedaan naskah UUD 1945 pada lampiran itu semata-mata karena kesalahan pengetikan, bukan sesuatu yang disengaja.
UUD 1945 terdiri atas Pembukaan (4 alenia), Batang Tubuh (16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasannya. Pembukaan UUD 1945 adalah penuangan jiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yakni jiwa Pancasila. Pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan yang terinci, yang mengandung cita-cita luhur Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber dari segala hukum yang meliputi pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum, cita moral yang mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan mondial, cita politik mengenai sifat, bentuk, dan tujuan negara, kehidupan kemasyarakatan, keagamaan sebagai pengejawantahan dari budi nurani manusia telah dimumikan dan dipadatkan menjadi dasar negara Pancasila. Pancasila yang menjiwai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, diuraikan terinci dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengandung nilai-nilai Pancasila, selanjutnya dijabarkan dalam Pasal-Pasal dari Batang Tubuh UUD 1945.
4) Surat Perintah 11 Merat 1966
Inti pokok dari Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) adalah perintah kepada Letjen Soeharto Mentri/Panglima Angkatan Darat, untuk atas nama Presiden/Panglima Tinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi (PBR) Soekarno, agar mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalanya pemerintahan dan revolusi, termasuk menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Pangti ABRI/PBR Mandataris MPR, demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran PBR. Apabila kurangnya stabilitas ini tidak diatasi, maka akan terjadi perpecahan bangsa dan negara dan adanya kesalahan dalam penerapan ajaran-ajaran PBR. Supersemar ini memberi legitimasi kepada Letjen Soeharto untuk mulai mengambil segala tindakan yang dianggap perlu agar pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dapat berlangsung secara murni dan konsekuen.dalam sejarah telah tercatat, bahwa Letjen Soeharto kemudian melakukan berbagai tindakan strategis, seperti pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama dengan organisasi massa dibawah naungannya serta memberi laporan pertanggung jawaban pada Presiden/PBR. Tanggal 31 Maret 1966 disebut sebagai tonggak pelaksanaan orde Baru karena dengan keluarnya Supersemar, maka bagi pemegang Supersemar, terbukanya jalan untuk melaksanakan cita-cita Orde Baru, karena sumber utama dari segala kekacauan adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), maka tindakan pertama dalam mewujudkan cita-cita Orde Baru adalah membubarkan PKI dan organisasi massa di bawah naungannya, serta mengamankan 15 orang menteri yang mempunyai indikasi terlibat G-30 S/PKI.
Sidang MPRS IV tahun 1966 menerima dan memperkuat Supersemar ini dengan mengangkatnya menjadi Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. hal ini berarti bahwa semenjak itu kekuasaan pemegang Supersemar tidak lagi bersumber pada hukum tata negara yang tidak tertulis, tetapi bersumberkan pada kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh MPR/MPRS (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945).
Dalam sidang V MPRS tahun 1968, MPRS memberikan penafsiran yang lebih luas atau penjelasan resmi terhadap Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 untuk lebih disesuaikan dengan perkembangan Orde Baru, yang dituangkan dalam Ketetapan MPRS No. XLIII/MPRS/1968. dengan penafsiran resmi tersebut, maka pengemban Supersemar diberi wewenang untuk:
(1) mengambil semua tindakan yang dianggap perlu untuk mencegah kembalinya G-30S/PKI;
(2) mengambil tindakan-tindakan untuk membersihkan aparatur negara dari semua bentuk penyelewengan-penyelewengan;
(3) mengamankan kebijaksanaan pengembalian pelaksanaan UUD 1945; dan
(4) memelihara persatuan bangsa dan tegaknya negara persatuan Republik Indonesia atas landasan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam perkembangan berdasarkan Ketetapan MPR No X/MPR/1973, isi ketetapan MPRS tahun 1968 diatas memuat kembali dan diperluas/ditambah dengan tiga wewenang lain kepada Presiden/Mandataris MPR, yaitu:
(1) melanjutkan pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun dan menyusun serta melaksanakan Rencana Lima Tahun II dalam rangka GBHN;
(2) membina kehidupan masyarakat agar sesuai dengan demokrasi Pancasila; dan
(3) melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan orientasi pada kepentingan nasional.
d. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Satu hal yang erat kaitannya dengan pembahasan mengenai sumber dari segala sumber hukum ini adalah tentang tata urutan peraturan perundang-undangan. Hal ini telah diatur pula dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966.
Menurut ketetapan itu, tata urutan peraturan perundang-undangan (dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 disebut “peraturan perundangan) adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
2) Ketetapan MPR.
3) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
  Nawiasky memberi norma hukum dalam empat kelompok norma, yaitu: (1) Staatsfundam entalnorm (2) Staatsgrundgestze (3) Formelle Gesetze dan (4) Verordnungen dan Autonome Satzungen. Ia sengaja menggunakan istilah Staatsfundam entalnorm bukan Grundnom atau Staatsgrundnorm, untuk menyebutkan norma yang tertinggi itu. Pertimbangannya, norma hukum dasar dari suatu negara mungkin saja untuk diubah, sedangkan norma tertinggi Grundnom yang pada hakikatnya tidak mudah diubah-ubah. Jika Staatsfundam entalnorm 4) Peraturan Pemerintah 5) Keputusan Presiden. 6) Peraturan-peraturan pelaksana lainnya, seperti: Peraturan Menteri; Instruksi menteri dan lain-lain. Menurut Stufentheorle dari Hans Kelsen, setiap norma itu mendasarkan validitasnya dari norma lain yang lebih tinggi, Groundnorm tersebut harus diterima secara aksiomatis (kenyataan yang diterima sebagai kebenaran tanpa perlu pembuktian lebih lanjut). Teori Kelsen ini sesungguhnya masih bersifat umum karena tidak ditujukan khusus kepada norma hukum. Artinya, norma apapun (agama, kesusilaan, sopan santun, dan hukum) mengalami lapisan-lapisan dari yang terendah sampai yang tertinggi. Teori jenjang kelsen ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, Hans Nawlasky dengan teorinya Die Stufenordnung der Rechtsnormen atau Die Lehre von dem Stufenoufbau der Rechtsordnung. Berbeda dengan Kelsen, teori Nawiasky lebih bersifat khusus, karena ia sudah diterapkannya terhadap norma hukum sebagai aturan-aturan yang dikeluarkan oleh negara. adalah norma dasar negara, yakni sebagai norma tertinggi, maka Staatsgrundgesetze merupakan aturan-aturan dasar/pokok negara. Biasanya, aturan-aturan dasar negara ini apabila dituangkan dalam suatu dokumen negara disebut dengan undang-undang dasar atau Verfassung, dan apabila ditungkan dalam beberapa dokumen akan disebut sebagai aturan dasar atau Grundgesetze. Aturan dasar negara antara lain menentukan tata cara membentuk peraturan perundang-undangan lainnya yang mengikat umum, sifatnya masih merupakan aturan-aturan pokok dan belum mengundang suatu sanksi dan sifatnya masih umum. Formelle Gesetze atau undang-undang (formal), yang biasanya sudah dapat dilekatkan ketentuan memaksa, baik berupa paksaan pelaksanaan (Vollsstreckungszwang) maupun berupa hukuman (Strafe). Memang buru pada sistem undang-undang ini kita memperoleh suatu tata norma hukum yang mengikat (verbinlich) secara nyata.  Terakhir adalah Verordnungen dan Autonome Satzungen atau peraturan pelaksanaan dan peraturan-peraturan otonom. Dalam hal ini merupakan peraturan-peraturan yang sifatnya delegasian atau atribusian. Hans Nawlasky mengemukakan lebih lanjut bahwa apa yang disebut sebagai peraturan perundang-undangan dalam suatu negara Formelle Gesetze dan semua peraturan pelaksanaannya. Hamis Attamimi dalam disertasinya dengan mengutip Nawlasky dan Carl Schmitt menjelaskan bahwa isi Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara (Staatverfassung), termasuk norma perubahannya. Hakikat hukum suatu Staatsfundam entalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar, sedangkan konstitusi, menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau consensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine Gesammtenscheidung Uber Art und Form etner Politischen Einhet) yang disepakati oleh suatu bangsa. Staatsfundam entalnorm ini masih bersifat abstrak. Dibawahnya terdapat Staasgrundgesetz yaitu dasar negara yang biasanya berupa undang-undang dasar (Verfassung) atau konstitusi. Sifat aturan dalam undang-undang dasar tersebut masih abstrak, walaupun lebih konkret dibandingkan Staatsfundam entalnorm. Jenis norma hukum yang lebih rendah lagi adalah Formelle Gesetze karena suatu dapat dilengkapi ketentuan-ketentuan mengenai sanksi-sanksi bagi pelanggannya. Jenis terakhir adalah Verordnungen dan Autonome Satzungen berupa peraturan pelaksanaan atau peraturan otonomi yang bersifat konkret.
Menurut A. Hamid S. Attamimi, yang dapat disebut sebagai peraturan perundang-undangan hanya undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang sampai dengan Keputusan KDH tingkat II. UUD 1945 (Batang Tubuhnya) bukan peraturan perundang-undangan karena ia dibentuk oleh badan yang membentuk negara ini (PPKI). Demikian pula, hanya dengan Ketetapan MPR sebagai produk hukum lembaga tertinggi negara, sehingga seharusnya keduanya dimasukkan sebagai aturan dasar negara (staatsgrundgesetze menurt teori Nawiasky).
Menteri Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ini banyak mengandung kekurangan, terutama jika ditinjau dari sudut ilmu perundang-undangan. Hal ini bukan tidak disadari oleh MPR, mengingat dalam ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978, telah ada amanat untuk menyempurnakan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 itu.
Ada tujuh catatan yang dibeerikan oleh Maria Farida Indrarti yang pendapanya juga sejalan dengan pemikiran A. Hamid S. Attamimi:
Pertama. Istilah “tata urutan” yang sebaiknya diganti dengan “tata susunan”. Istilah pertama tidak mencerminkan suatu tingkatan atau jenjang (hirarki) dari peraturan perundang-undangan yang mengandung fungsi, materi dan jenis yang berbeda.
Kedua. Istilah “bentuk” peraturan perundang-undangan sebaiknya diganti dengan “jenis”. Kata “bentuk lebih menunjuk pada ciri-ciri lahiriah, sedangkan “jenis” berarti macam peraturanperundang-undangan tersebut.
Ketiga. Istilah “perundangan” seharusnya diganti dengan “perundang-undangan”, mengingat kata dasarnya adalah “undang-undang”.
Keempat. Didalam ketetapan tersebut disebutkan Keputusan Presiden yang einmahlig (berlaku sekali saja), sedangkan keputusan yang bersifat mengatur dan berlaku terus menerus tidak disebut dalam ketetapan itu.
Kelima. Peraturan Menteri sebaiknya diganti dengan “Keputusan Menteri”.
Keenam. Instruksi Menteri tidak tepat dimasukkan ke dalam susunan peraturan perundang-undangan karena instruksi bersifat konkret dan merupakan perintah dari atsan kepada bawahan, padahal peraturan perundang-undangan itu bersifat umum.
Ketujuh. Perkataan “dan lain-lain” adalah tidak benar, karena dapat diartikan secara luas.
Berdasarkan catatan di atas, maka susunan yang disarankan adalah:
1) Peraturan perundang-undangan tingkat Pusat:
(a) Undang-undang/peraturan pemerintah undang-undang.
(b) Peraturan Pemerintah.
(c) Keputusan Presiden.
(d) Keputusan Kepala lembaga pemrintah non departemen.
(e) Keputusan Direktur Jenderal.
(f) Keputusan “badan” negara (yang otonomi).
2) Peraturan perundang-undangan tingkat daerah:
(a) Peraturan daerah tingkat I
(b) Keputusan Gubernur KDH I
(c) Peraturan daerah tingkat II (d) Keputusan Bupati/Walikota KDH II   Undang-Undang dasar 1945 dan ketetapan MPR/MPRS tidak dimasukkan ke dalam tata susunan peraturan perundang-undangan itu karena dalam Pembukaan UUD 1945 mengandung norma dasar negara (Staatsfundam entalnorm) dan Batang Tubuh UUD 1945 adalah aturan dasar negara (Staatsgrundgestze). Menggolongkan UUD 1945 ke dalam peraturan perundang-undangan, menurut Attamimi, sama dengan menempatkannya terlalu rendah.  Padahal, Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945, baik dalam rumusannya maupun dalam pokok-pokok pikirannya, adalah norma hukum yang paling tinggi, sedangkan Batang Tubuh UUD 1945 tidak dapat dipersamakan dengan undang-undang formal biasa, karena selain lembaga pembentukannya tidak sama, juga kedudukannya juga tidak sama.  Ketetapan-ketetapan MPR yang merupakan produk dari lembaga tertinggi negara semestinya juga termasuk dalam aturan-aturan dasar negara (Staatsgrundgestze), sehingga apabila Pembukaan UUD 1945 adalah norma dasar negara (Staatsfundam entalnorm)  dan Batang tubuh UUD 1945 serta Ketetapan MPR merupakan aturan-aturan dasar negara, maka sebenarnya yang termasuk peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia adalah undang-undang ke bawah atau undang-undang dan peraturan-peraturan pelaksanaannya yang bersifat delegasian atau atribusian.
Kita sudah sepakat bahwa pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Rumusan pancasila ini dijumpai dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945. Dengan kata lain, jika mengikuti teori Nawiasky, Staatsfundam entalnorm indonesia adalah pembukaan UUD 1945 karena didalamnya dimuat rumusan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
3. Pancasila sebagai Sumber dari Filsafat Hukum Indonesia
Segala sesuatu yang dibuat menuasia tentu ada tujuannya. Pancasila “dibuat” (dalam arti digali) oleh Bangsa Indonesia juga ada tujuannya. Tujuannya adalah untuk dipergunakan sebagai dasar negara. Jadi, dilihat dari fungsinya, Pancasila memiliki fungsi utama sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Dilihat dari materinya, Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Dasar negara Pancasaila terbuat dari materi atau bahan “dalam negeri” yang merupakan asli murni dan menjadi kebanggan bangsa. Dasar negara kita tidak diimpor dari luar, meskipun mungkin saja mendapat pengaruh dari luar negeri.
Dilihat dari kedudukannya, Pancasila menempati kedudukan yang paling tinggi, yakni sebagai cita-cita serta pandangan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia.
Dengan menjadikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, berarti kita menjadikan Pancasila sebagai ukuran dalam menilai hukum kita. Aturan-aturan hukum yang diterapkan dalam masyarakat harus mencerminkan kesadaran dan rasa keadilan sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup Indonesia, yaitu Filsafat Hukum pancasila, yang merupakan hasil kajian dan perenungan jiwa yang dalam dari Bangsa Indonesia.
Hukum di Indonesia harus menjamin dan menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD1945 yang merupakan pencerminan Pancasila dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Batang Tubuh UUD 1945 serta Penjelasannya. Pancasila dengan demikian adalah identik dengan kebenaran dan keadilan bagi bangsa Indonesia, sehingga tepat sekali jika Pancasila dijadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Karena Pembukaan UUD 1945 merupakan Staatsfundam entalnorm, yang mengandung pancasila itu, serta Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, maka dapat disimpulkan bahwa Pembukaan UUD1945 adalah filsafat hukum Indonesia. Apabila Pembukaan UUD 1945 merupakan filsafat hukum Indonesia, maka Batang Tubuh UUD 1945 adalah teori hukumnya. Dikatakan demikian karena dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum positif Indonesia. Teori hukum tersebut meletakkan dasar-dasar failsafati hukum positif kita. Adapun penjelesan UUD 1945 kita memberikan latar belakang pikiran dan suasana batin yang muncul pada saat UUD 1945 itu dibentuk.
Jadi penjabaran tentang filsafat hukum Indonesia itu ada dalam teori hukumnya. Sesuai dengan bunyi “kalimat kunci” dalam Penjelasan UUD 1945: “Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan dalam Pasal-pasalnya,” maka dalam mengintepretasikan Pembukaan UUD 1945 (sebagai filsafat hukum Indonesia), tidak dapat dilakukan langsung begitu saja, melainkan harus melalui pasal-pasal dalam Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 (sebagai teori hukumnya), kemudian masuk dalam pasal-pasal setelah perubahan UUD 1945 I s/d IV (1999-2002) yang masihperlu penyempurnaan bagi melalui Perubahan ke IV sebelum tahun 2009.
Apabila filsafat hukum mengadakan penilaian tehadap hukum (apakah hukum yang ada itu sudah memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan), maka bagi bangsa Indonesia, yang dipergunakan sebagai ukuran, alat penilai atau batu ujiannya adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, yang identik dengan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945. ini pedoman bagi Mahkamah Konstitusi R.I.
Fungsi hukum nasional kita adalah pengayoman sebagaiamana pernah diintroduksi oleh saharjo pada tahun 1963. hukum dengan aturan-aturannya yang terutama bersumber pada rasa keadilan agar dapat melindungi:
(1) segenap bangsa Indonesia;
(2) seluruh tumpah dara Indonesia;
(3) cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia;
(4) masyarakat Indonesia dan individu-individunya,warganegaranya;
(5) jiwa, kebebasan individu, kehormatan, dan harta bendanya; dan
(6) terhadap usaha mencerdaskan bangsa agar pelaksanaan pembangunan menyeluruh.

Pembangunan hukum Indonesia harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang, sehingga tercapai pula ketertiban dan kepastian hukum yang mengarah pada manfaat untuk meningkatkan pembinaan kesatuan bangsa NKRI.
Filsafat Hukum dan Filsafat Negara serta Ideologi Pancasila itu adalah pedoman dasar bertindak atau perilaku sesuai dengan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia yang berbeda dengan Volksgeist bangsa-bangsa lain.
Soedjono Dirdjosisworo menegaskan bahwa Filsafat Peradilan Pidana dan perbandingan hukum merupakan sumber pembaharuan Hukum Pidana Nasional.
Dalam disertai saya, ditegaskan bahwa hukum peradilan itu bersumber pada Filsafat Peradilan yang merupakan bagian dari Filsafat Hukum “Pancasila”. Pada bagian lain dikatakan Penjabaran Kekuasaan Kehakiman yang merdeka itu bersumber pada Staatsidee (Filsafat Negara) dan Rechtsidee (Filsafat Hukum).

Komentar

Postingan Populer